Nenekku mengunyah daun sirih atau istilahnya "menginang" dan tempat pakinangannya tampak seperti pada foto. Di bawah naungan pohon sawo terdapat tembok yang membatasi rumah kami dengan tetangga (Asrama Muhammadiyah) dan di sanalah diletakkan para-para terbuat dari bambu untuk menunjang tumbuhnya pokok sirih. Setiap hari daun sirih segar dipetik untuk nenekku, biasanya itulah tugasku. Di samping itu di kebun rempah-rempah terdapat pokok "Sogok Telik", dan daunnya dipakai untuk bumbu kinang. Buahnya berwarna merah putih dan bila telah masak berwarna merah dan hitam bisa diuntai atau dironce menjadi kalung untuk mainan anak-anak. Untuk keperluan kinang juga dibutuhkan "injet" atau kapur putih yang diberi air dan diletakkan dalam botol, penyendok injet hanyalah sebuah paku besar yang dipipihkan.
Pada suatu musim buah sawo, seorang anak tetangga bernama Bagong ikut membantu memanjat pohon sawo memetik buah yang ranum-ranum membantu montir ayah yang bernama Zaidu. Memetik buah sawo merupakan acara menarik karena buah yang dipetik harus benar-benar berukuran besar dan belum masak. Buah-buah itu kemudian dicuci dalam gentong-gentong air di sumur dan ditiriskan kemudian diperam dalam karung-karung guni beberapa hari (disimpan dalam tempat gelap namun tidak lembab). Beberapa buah sawo yang hampir masak diperam dalam guci beras.
Bagong kurang hati-hati dan ia tergelincir. Untung lengannya masih bisa menyambar sebuah dahan namun ia terjatuh bersama dahan sawo. Lengannya terkelupas kulitnya dan darah keluar. Kami semua berteriak-teriak ngeri dan nenek keluar dengan pakinangannya. Dengan tenang lengan itu dicuci kemudian daun sirih ditumbuk halus dan tumbukannya ditaruh di atas luka. Memang perih sekali, Bagong meringis dan menangis. Luka itu pun kemudian dibebat dengan perban. Ajaib! Selang beberapa hari lukanya kering dan menutup kembali dengan cepat! Sembuh!
Friday, August 18, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment