Thursday, August 17, 2006

Kisah Si Pohon Jambu Biji

Tautan perasaanku paling dekat adalah pada si Pohon Jambu Biji yang biasa disebut "Jambu Kluthuk". Pohon itu tumbuh menjuntai memayungi sebuah sumur milik tetangga namun batangnya tumbuh di bagian kebun kami. Buahnya tak pernah berhenti sepanjang tahun karena di bawah pohon itu terletak kandang ayam. Pupuk kotoran ayam itulah rupanya yang menyuburkan sang Jambu Kluthuk, buahnya banyak dan manis rasanya.

Aku adalah anak perempuan sulung dengan tiga orang adik laki-laki sehingga dalam diriku muncul sifat "tomboy", setiap hari asyik bermain dengan ketiga adikku itu diseputar pohon jambu ini. Mereka bermain layang-layang dan aku biasanya menunggu mereka dengan melakukan "camping" di atas pokok jambu sambil menikmati buahnya yang manis setiap pulang dari sekolah. Buah yang paling enak adalah yang disebut "kemampo" atau belum masak, warna kulitnya masih hijau semu sedikit kuning.

Daun jambu bisa dipakai untuk memindang telur sehingga warnanya kecoklatan dan selain itu daun tersebut bila digilas di atas lumpang batu bersama lempuyang dan diperas airnya serta diminum sebagai jamu bisa menyembuhkan diare. Kenangan kami terhadap pohon itu amatlah sarat, rantingnya yang agak besar bisa dipakai untuk membuat ketapel untuk mengetapel buah-buah yang tak terjangkau. Kayu pohon jambu kluthuk juga paling bagus untuk gagang pisau dapur buatan adik-adikku serta ayahku.

Kami berempat menciptakan sebuah bahasa rahasia juga di seputar pokok jambu tersebut. Teriakan "Aruthitharuthitha!" punya arti khusus itulah kode berarti dengan sigap melompati batang jambu dan meluncur turun ke tepi sumur dan merayap ke tetangga untuk "mencuri" cuilan-cuilan kertas sisa-sia percetakan. Sebelah rumah kami itu adalah percetakan yang mencetak label-label botol kecap atau pun label-label kemasan. Sebenarnya cuilan kertas-kertas itu telah dibuang namun mengambil dengan cara "Aruthitharuthitha" tampak lebih asyik. Maklum kegemaran kami semua adalah menggambar dan kertas yang bagus langka pada zaman tahun 1960an.

Tahun lalu aku pulang ke rumahku dulu dan aku menyaksikan pohon itu tertinggalkan. Inilah yang kutulis untuk mengenangnya ;

Kesepian kau di sana,
seorang diri, tua dan renta,
tak ada lagi kicauan burung
dan riuh rendah tawa bocah
mengelilingimu.

Kau sendiri,
tegar berdiri tanpa siapa pun,
sumur di depanmu telah hening,
ditinggalkan tak terpakai,
tak ada lagi derit timba
menggayuh air tiada henti
seperti masa lalu.

Jambuku sayang,
bila saja aku mampu
memiliki lampu Aladin
kupindahkan kau
ke sini bersamaku.

No comments: