Pohon sawo itu tumbuh di kebun bagian depan. Usianya sudah ratusan tahun, batang pohonnya berukuran besar, kokoh dan banyak ditumbuhi lumut saking tuanya. Kami selalu senang bermain petak umpet disana dan pohon itulah tempat "orang yang jadi" menghitung seraya menempelkan lengan untuk menutupi matanya. Disebut "jadi" artinya yang "kalah" yang punya peran mencari orang lain yang bersembunyi dalam rentang waktu ia menghitung 1 sampai dengan 100 atau bahkan 1 sampai dengan 10.
Batang Sawo itu membelah dua ditengah dan sering pula dipasangi bambu untuk membuat "meriam". Daunnya berguguran setiap hari dan aku selalu membayangkan daun-daun itu bagai ikan di laut. Pelataran di bawah pohon sawo itu bertanah keras padat dan tidak ditumbuhi apa pun. Dengan membuat petak-petak di bawah pohon, kadang kita berimajinasi bahwa petak-petak itu tambak ikan atau kadang bisa juga menjadi sawah ladang. Ukuran daun sawo hampir sama hingga bisa juga ditumpuk menjadi duit-duitan. Pokoknya sangat mengasyikkan.
Paling asyik lagi bila musim buah sawo tiba. Pada malam harinya ketika buah sudah mulai bermasakan para kelelawar atau seringkali disebut codot berdatangan. Para codot hitam itu sebenarnya rabun, terbukti mereka selalu terbang menabrak tangga pipa yang terpasang di dekat pohon sawo. "Klang! Kleng! Klong!"Bunyi para codot menabrak tangga pipa dan talang namun mereka dengan jitu bisa mencuri buah-buah sawo yang matang. Ayah dan ketiga adikku sibuk berburu codot dengan senapannya, tinggal aku seorang yang protes keras karena merasa kasihan pada binatang itu.
Friday, August 18, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment