Sunday, August 20, 2006

Kisah Si Uwi

Nenekku gemar menanam umbi-umbian dan juga gemar memperkenalkannya pada kami untuk dimakan, salah satunya adalah "Uwi", sejenis umbi berkulit gelap dan daging umbinya berwarna ungu bila direbus. Umbi uwi sangat unik karena bisa ditanam berkali-kali. Nenek selalu memintaku untuk memeriksa si uwi caranya diambil dari tanah dan diperlihatkan pada nenek apakah sudah cukup "besar" untuk disantap. Bila belum cukup besar, uwi ditanam lagi dan selang beberapa bulan diperiksa lagi ukurannya.

Uwi yang telah cukup besar ukurannya direbus dalam air mendidih dan diberi sedikit garam. Rasanya gurih dan empuk walau pun sedikit berlendir kulitnya, konon itu sehat untuk perut kita. Sebelum direbus, bagian atas uwi dipotong dan ditanam kembali, dipilih bagian yang ada "matanya". Selang beberapa bulan kami sudah bisa menikmati uwi rebus lagi, demikianlah tak putus-putus "sepanjang masa" dan tempat uwi tumbuh adalah di kebun samping bagian rempah-rempah. Tempat itu selalu kami tandai dengan batang kayu atau batu untuk mempermudah "pencariannya" kembali.

Dapurnya Yang Datang

Nenekku memiliki pribadi yang unik dan kegemaran memasak. Bila memasak, dapurnyalah yang datang ke tempat dimana ia berada. Semua peralatan dapur di bawa ke dekatnya dan ia mulai memasak. Setiap hari hal itulah yang dilakukannya dan sehabis masak semua peralatan dapur harus dikembalikan ke tempat semula.

"Portable Kitchen"nya itu berupa : sebuah wajan baja hitam, cerek terbuat dari kaleng bekas berukuran besar, sebuah panci email merah, ulekan dan cobeknya, telenan kayu, pisau dapur, kipas bambu, stoples, kaleng penampung minyak jlantah, sotil kuningan, irus bambu, saringan bambu, kalo, tampah, serbet dan lap, gunting masak, baskom untuk mencuci tangan. Disamping itu harus didatangkan juga bumbu-bumbu dapur, kecap manis dan asin, garam dapur berbentuk bongkahan, merica bulat, minyak, brambang, bawang, kertas merang (untuk menampung gorengan) serta setiap hari selalu ada tahu dan tempe (kadang digoreng kadang dibacem).

Pada saat memasak, ia pun tak lupa melakukan daur ulang. Air bekas cucian daging untuk menyirami pohon, kucing diberi makan (kepala ikan), para ayam mendapat jatah rajangan gagang sayur-mayur dan "sampah dapur" dikumpulkan untuk dibuang ke dalam galian lubang di kebun (kini dikenal dengan istilah "kompos"). Jadi seusai masak, peralatan dapur harus dicuci dan dikembalikan ke tempat semula dan baik para penghuni rumah mau pun binatangnya semua "rata" mendapat "jatah makanan".

Saturday, August 19, 2006

Kisah Si Pokok Cincau

Pokok cincau yang tumbuh di bagian tengah kebun itu telah berusia tua. Cincau adalah jenis tanaman merambat namun saking tuanya batang-batangnya bertautan macam sulur-sulur beringin berwarna abu-abu. Daunnya tumbuh rimbun, amat subur, Paling bagus bila dipetik pada sore hari kemudian diperas dalam saringan setelah dibubuhi air dan air hijau dari perasan tersebut tak lama kemudian akan mengental berbentuk seperti jelly. Sungguh sedap minum cincau hijau dengan kolang-kaling dan sirup Frambose.

Di bawah pokok cincau selalu terdapat sebuah periuk tanah liat berisi air, tepat di bawah akar pokok tersebut sehingga akarnya selalu memperoleh air. Di dekat periuk itu terletak sebongkah batu wungkal yaitu batu pengasah pisau. Di sanalah selalu tempat paman serta ayahku mengasah pisau-pisau buatan mereka sendiri. Bilah pisau itu dibuat dari bekas gergaji besi yang terbuat dari baja, tajamnya luar biasa.
Pisau itu dipakai di dapur untuk mengiris daging maupun sayur.

Meminum es cincau ternyata sehat untuk kita karena cincau konon adalah pencegah darah tinggi, kanker dan panas dalam. Hampir setiap hari kami menikmati minuman segar dengan cincau hijau tersebut.

Di bawah naungan pokok cincau terdapat kandang burung parkit. Kami selalu memiliki sekitar 6 pasang parkit yang hidup rukun beranak pinak di bawah naungan pokok cincau.

Sehabis mencuci daging dengan air, nenek selalu teringat pada para pohon di kebun. Air bekas cucian daging ditaruh dalam waskom dan nenek selalu berkata pada kami para cucunya :" Nah, sekarang siramkan air ini ke pokok Cincau..ingat kan, kemarin air dagingnya disiramkan ke pokok jeruk nipis, kemarinnya lagi ke pohon Srikaya..yang ini untuk si Cincau! Bergilir, jangan lupa!" Kami pun menyiramkan air daging secara bergantian ke pohon-pohon di kebun, selalu mmementingkan pohon-pohon yang berukuran kecil atau pokok-pokok tanaman rambat, semua mendapat jatahnya masing-masing. Ketika menyiram itu, kami membayangkan "mereka" minum "obat kuat", kenyataannya daun-daunnya makin lebat dan buah-buah yang dihasilkan makin mantap dan yang menikmati semua itu adalah kami-kami juga.

Friday, August 18, 2006

Para Tetangga Kami

Kami sekeluarga beragama kristen. Walau pun menjelang akhir hayatnya nenekku menjadi pemeluk agama kristen namun sewaktu masih tinggal di rumah Ngabean ia belum beragama. Tetangga kami kebanyakan beragama islam aliran Muhammadiyah. Sahabat nenekku bernama Mbah Lurah dan waktu itu tinggal di daerah Nagan Kulon dekat Keraton, dahulu suaminya adalah mantan lurah.

Bila musim buah bergantian tiba, nenek sibuk membagi buah untuk para tetangga. Pada musim buah sawolah buah paling banyak bisa dibagikan sebab buahnya berjumlah ratusan. Buah dikelompokkan dan ditandai untuk siapa saja. Waktu itu belum ada tas kresek jadi buah diletakkan dalam baki dan ditutup sehelai taplak renda, itulah basa-basi orang "weweh" atau "memberikan hasil kebun pada tetangga". Ada yang untuk Ibu Haji Nuriah, Ibu Kepala Asrama Muhammadiyah di sebelah, Babah Aling, para sanak saudara dan handai taulan semua kebagian berkat dari kebun. Sebaliknya kami pun sering menerima "weweh" dari tetangga biasanya berupa nasi besek selamatan. Itulah uniknya hidup bertetangga di masa lampau.

Pada sore hari sekitar jam 4 biasanya nenek mengeluarkan "lincak bambu" di depan rumah dan melakukan "adang-adang" yaitu adat menyapa serta bertegur sapa pada tetangga atau kenalan yang lewat, tidak jarang mereka berhenti, duduk sebentar di atas lincak sambil minum teh panas manis dan menikmati ubi rebus.

Kisah Si Pokok Sirih dan Pohon sawo

Nenekku mengunyah daun sirih atau istilahnya "menginang" dan tempat pakinangannya tampak seperti pada foto. Di bawah naungan pohon sawo terdapat tembok yang membatasi rumah kami dengan tetangga (Asrama Muhammadiyah) dan di sanalah diletakkan para-para terbuat dari bambu untuk menunjang tumbuhnya pokok sirih. Setiap hari daun sirih segar dipetik untuk nenekku, biasanya itulah tugasku. Di samping itu di kebun rempah-rempah terdapat pokok "Sogok Telik", dan daunnya dipakai untuk bumbu kinang. Buahnya berwarna merah putih dan bila telah masak berwarna merah dan hitam bisa diuntai atau dironce menjadi kalung untuk mainan anak-anak. Untuk keperluan kinang juga dibutuhkan "injet" atau kapur putih yang diberi air dan diletakkan dalam botol, penyendok injet hanyalah sebuah paku besar yang dipipihkan.

Pada suatu musim buah sawo, seorang anak tetangga bernama Bagong ikut membantu memanjat pohon sawo memetik buah yang ranum-ranum membantu montir ayah yang bernama Zaidu. Memetik buah sawo merupakan acara menarik karena buah yang dipetik harus benar-benar berukuran besar dan belum masak. Buah-buah itu kemudian dicuci dalam gentong-gentong air di sumur dan ditiriskan kemudian diperam dalam karung-karung guni beberapa hari (disimpan dalam tempat gelap namun tidak lembab). Beberapa buah sawo yang hampir masak diperam dalam guci beras.

Bagong kurang hati-hati dan ia tergelincir. Untung lengannya masih bisa menyambar sebuah dahan namun ia terjatuh bersama dahan sawo. Lengannya terkelupas kulitnya dan darah keluar. Kami semua berteriak-teriak ngeri dan nenek keluar dengan pakinangannya. Dengan tenang lengan itu dicuci kemudian daun sirih ditumbuk halus dan tumbukannya ditaruh di atas luka. Memang perih sekali, Bagong meringis dan menangis. Luka itu pun kemudian dibebat dengan perban. Ajaib! Selang beberapa hari lukanya kering dan menutup kembali dengan cepat! Sembuh!

Kisah Si Pohon Sawo

Pohon sawo itu tumbuh di kebun bagian depan. Usianya sudah ratusan tahun, batang pohonnya berukuran besar, kokoh dan banyak ditumbuhi lumut saking tuanya. Kami selalu senang bermain petak umpet disana dan pohon itulah tempat "orang yang jadi" menghitung seraya menempelkan lengan untuk menutupi matanya. Disebut "jadi" artinya yang "kalah" yang punya peran mencari orang lain yang bersembunyi dalam rentang waktu ia menghitung 1 sampai dengan 100 atau bahkan 1 sampai dengan 10.

Batang Sawo itu membelah dua ditengah dan sering pula dipasangi bambu untuk membuat "meriam". Daunnya berguguran setiap hari dan aku selalu membayangkan daun-daun itu bagai ikan di laut. Pelataran di bawah pohon sawo itu bertanah keras padat dan tidak ditumbuhi apa pun. Dengan membuat petak-petak di bawah pohon, kadang kita berimajinasi bahwa petak-petak itu tambak ikan atau kadang bisa juga menjadi sawah ladang. Ukuran daun sawo hampir sama hingga bisa juga ditumpuk menjadi duit-duitan. Pokoknya sangat mengasyikkan.

Paling asyik lagi bila musim buah sawo tiba. Pada malam harinya ketika buah sudah mulai bermasakan para kelelawar atau seringkali disebut codot berdatangan. Para codot hitam itu sebenarnya rabun, terbukti mereka selalu terbang menabrak tangga pipa yang terpasang di dekat pohon sawo. "Klang! Kleng! Klong!"Bunyi para codot menabrak tangga pipa dan talang namun mereka dengan jitu bisa mencuri buah-buah sawo yang matang. Ayah dan ketiga adikku sibuk berburu codot dengan senapannya, tinggal aku seorang yang protes keras karena merasa kasihan pada binatang itu.

Thursday, August 17, 2006

Para Ayam Kami

Kami berempat masing-masing memiliki seekor ayam dan boleh dipastikan ayamnya selalu ayam kampung dan betina. Ayam-ayam itu selalu bertelur setiap hari dan kami pemiliknya diperbolehkan merebus telur yang dikeluarkan oleh ayam peliharaannya. Anehnya, sifat sang ayam mirip para pemiliknya. Yang paling nakal adalah ayam abu-abu milik adikku nomor 3 karena ia pun nakal sekali, ayam itu sering terjun masuk ke sumur sehingga dengan susah payah harus ditolong naik ke atas dengan timba.

Ayamku berwarna hitam dengan leher yang panjang dan memiliki bulu berwarna-warni yang berkilauan. Menurut sebuah buku bacaan, ayam akan menjadi jinak bila ekornya diberi garam banyak-banyak. Ketika ayam baru tiba dari pasar (baru saja dibeli) langsung ekornya diberi garam kasar dan untuk melakukan itu ayam terpaksa harus duduk dalam posisi jongkok. Karena terbiasa dijongkokkan seperti itu, para ayam kami terbiasa berjongkok bila didekati dan belum pergi sampai kami berlalu. Kami suka iseng, di atas punggung ayam kami letakkan secara hati-hati sandal jepit kami yang kemudian kita lepaskan dari kaki dan ditinggal di atas punggung sang ayam sementara kami secara diam-diam beranjak pergi. Berjam-jam kemudian sang ayam masih tetap menunggu dengan sandal di punggungnya dan dalam posisi jongkok, sungguh keterlaluan nakal kami! Tetapi para ayam itu setia, selalu berkokok keras-keras memanggil kami bila bertelur dan sebutir telur yang masih hangat kami peroleh sebagai hadiah darinya.

Jangan mencoba menyembelih ayam kami sebab pasti semua jadi mogok makan. Ayam yang dibeli dari pasar juga jangan sampai menginap sebab kalau kami sudah "kenal" padanya dan esoknya disembelih untuk lauk, semua anak-anak menyesalinya bahkan berurai air mata dan tak mau makan masakan yang dibuat dari ayam tersebut betapa pun enaknya.

Ilustrasi Pohon Jambu dan Kertas Reklame

Cetakan yang dibuat oleh tetanggaku Percetakan Industria kira-kira label kecap seperti berikut dan situasi pohon jambu seperti tertera pada gambar.

Kisah Si Pohon Jambu Biji

Tautan perasaanku paling dekat adalah pada si Pohon Jambu Biji yang biasa disebut "Jambu Kluthuk". Pohon itu tumbuh menjuntai memayungi sebuah sumur milik tetangga namun batangnya tumbuh di bagian kebun kami. Buahnya tak pernah berhenti sepanjang tahun karena di bawah pohon itu terletak kandang ayam. Pupuk kotoran ayam itulah rupanya yang menyuburkan sang Jambu Kluthuk, buahnya banyak dan manis rasanya.

Aku adalah anak perempuan sulung dengan tiga orang adik laki-laki sehingga dalam diriku muncul sifat "tomboy", setiap hari asyik bermain dengan ketiga adikku itu diseputar pohon jambu ini. Mereka bermain layang-layang dan aku biasanya menunggu mereka dengan melakukan "camping" di atas pokok jambu sambil menikmati buahnya yang manis setiap pulang dari sekolah. Buah yang paling enak adalah yang disebut "kemampo" atau belum masak, warna kulitnya masih hijau semu sedikit kuning.

Daun jambu bisa dipakai untuk memindang telur sehingga warnanya kecoklatan dan selain itu daun tersebut bila digilas di atas lumpang batu bersama lempuyang dan diperas airnya serta diminum sebagai jamu bisa menyembuhkan diare. Kenangan kami terhadap pohon itu amatlah sarat, rantingnya yang agak besar bisa dipakai untuk membuat ketapel untuk mengetapel buah-buah yang tak terjangkau. Kayu pohon jambu kluthuk juga paling bagus untuk gagang pisau dapur buatan adik-adikku serta ayahku.

Kami berempat menciptakan sebuah bahasa rahasia juga di seputar pokok jambu tersebut. Teriakan "Aruthitharuthitha!" punya arti khusus itulah kode berarti dengan sigap melompati batang jambu dan meluncur turun ke tepi sumur dan merayap ke tetangga untuk "mencuri" cuilan-cuilan kertas sisa-sia percetakan. Sebelah rumah kami itu adalah percetakan yang mencetak label-label botol kecap atau pun label-label kemasan. Sebenarnya cuilan kertas-kertas itu telah dibuang namun mengambil dengan cara "Aruthitharuthitha" tampak lebih asyik. Maklum kegemaran kami semua adalah menggambar dan kertas yang bagus langka pada zaman tahun 1960an.

Tahun lalu aku pulang ke rumahku dulu dan aku menyaksikan pohon itu tertinggalkan. Inilah yang kutulis untuk mengenangnya ;

Kesepian kau di sana,
seorang diri, tua dan renta,
tak ada lagi kicauan burung
dan riuh rendah tawa bocah
mengelilingimu.

Kau sendiri,
tegar berdiri tanpa siapa pun,
sumur di depanmu telah hening,
ditinggalkan tak terpakai,
tak ada lagi derit timba
menggayuh air tiada henti
seperti masa lalu.

Jambuku sayang,
bila saja aku mampu
memiliki lampu Aladin
kupindahkan kau
ke sini bersamaku.

Wednesday, August 16, 2006

Berkawan dengan Para Pohon

Usiaku 3 tahun ketika duduk di atas meja kayu yang sengaja dipasang oleh pamanku di bawah pohon duwet putih agar kami bisa berpesta di bawah pohon dengan kue ulang tahun yang biasanya digantikan dengan nasi megono. Buah-buahan yang sedang musim menambah kenikmatan pesta. Ada yang belum disebutkan misalnya ;

1. Pohon Pepaya Jingga
2. Pohon Sirsak
3. Pohon Cincau (walau pun sebenarnya merupakan tanaman merambat tetapi saking tuanya sampai berpenampilan seperti pohon, daunnya diremas menjadi cincau untuk minuman).

Para pohon menjadi teman-teman kami pada masa-masa itu. Kami bermain di sekitarnya dan bersamanya bahkan seringkali sambil memanjat di atas pepohonan tersebut.

Kebunku Dahulu


Tigabelas tahun sudah kutinggalkan kampung halamanku, selama itulah aku telah bermukim di benua Kangguru. Walau pun semua jauh di mata namun setiap hari percikan ingatan tentang kampung halaman yang ditinggalkan selalu ada terutama dari pepohonan dan tanaman yang ada di sekelilingku. Bagiku, semua pohon adalah temanku, semua seolah bisa berbicara dan bercanda denganku. Satu pohon yang tidak ada di Australia mau pun kini di Indonesia yaitu pohon Duwet. Kami dahulu memiliki pohon paling antik di seluruh kota bahkan di Indonesia, pohon Duwet itu disebut Duwet Putih. Tidak seperti kebanyakan buah Duwet atau Jamblang yang berwarna hitam, jenis Duwet kami yang putih itu termasuk langka.
Kebun kami didesain oleh nenekku. Ia gemar bertanam walau pun ia tidak menanamnya sendiri secara fisik namun dikerjakan dengan bantuan tukang kebun. Rumah yang juga dibeli oleh nenek itu memiliki surat dari tahun 1800an, konon dulunya adalah pendopo kemudian dirubah menjadi gedung pertemuan dan pada masa lampau berupa tanah berawa-rawa.
Pernah ada seorang insinyur yang memiliki bakat mencari air dengan ranting pohon terbelah dua, ranting yang dipegang akan bergerak turun seperti ada tenaga yang memberati bila dijulurkan pada tanah yang banyak kandungan airnya. Menurut insinyur itu di beberapa titik rumah bila digali 2 meter saja akan terbentuk sumur atau sumber air. Herannya, sumur yang terdapat di rumah itu dalamnya 25 meter.
Terdapat begitu banyak pohon buah-buahan sehingga setiap hari pohon-pohon buah itu bergantian berbuah tergantung musimnya sehingga kami boleh dikatakan tidak pernah berbelanja buah. Pohon buah-buahan yang ada yaitu :
1. Pohon Sawo
2. Pohon Duwet Putih
3. Pohon Belimbing
4. Pohon Jambu Biji
5. Pohon Jambu Merah
6. Pohon Jambu Putih
7. Pohon Jambu merah muda
8. Pohon Pisang
9. Pohon Mangga Arum Manis
10. Pohon Mangga Nanas
11. Pohon Alpukat
12. Pohon Srikaya
13. Pohon Jeruk Nipis
14. Pohon Kelengkeng
15. Pohon Nangka
16. Pohon Kedondong